Senin, 07 Maret 2011

Penderitaan Anak Merapi

Bencana banjir Wasior, gempa dan tsunami Mentawai , serta letusan gunung Merapi  yang berlangsung   sepanjang bulan Oktober 2010 telah menempatkan puluhan ribu anak berada dalam tempat-tempat pengungsian. Mereka telah menjadi korban dari ketidakberdayaan orang dewasa dalam mengantisipasi datangnya bencana, baik karena lemahnya kebijakan Negara , rendahnya  disiplin masyarakat , maupun pengetahuan masyarakat akan bencana alam yang sangat minim. Erica Harper  (2009) mengingatkan pada kita bahwa anak-anak dalam pengungsian, termasuk anak dalam situasi darurat yang membutuhkan perlindungan khusus. Kematian orang tua atau anggota keluarga yang dicintai, keterpisahan dengan keluarga, perubahan suasana kehidupan yang sangat berbeda dengan kehidupan normal, akan menimbulkan penderitaan yang jauh lebih berat dibandingkan dengan orang tua.Trauma psikososial pada umumnya dirasakan oleh anak ketika dalam usia yang sangat muda harus melihat gelombang pasang menyapu pemukiman dan memaksa dirinya harus lari menyelamatkan diri, atau menyakskan kilatan bara api dari kepundan gunung,   awan panas membubung tinggi ke langit dan sebagian  bergulung-gulung menerjang kampung halamannya ditingkah suara gemuruh yang memekakan telinga, lalu sejauh-jauh memandang bumi atas bawah penuh jelaga, adalah sebuah kengerian yang sulit dihapus dari memorinya.Sebagian mengaku merasa bersalah karena tidak bisa berbuat apa-apa, ketika menyaksikan orang lain gagal berjuang menghindari maut . Akumulasi trauma psikososial itu bisa berupa reaksi fisik maupun  gejala-gejala psikis  seperti; rasa mual, murung, pendiam, mimpi buruk, kecemasan, merasa terancam, serta hilangnya harapan hidup.Dalam situasi demikian, alih-alih memperoleh penanganan prioritas dan lebih dari orang dewasa, sebaliknya anak sering menjadi korban perlakuan salah dan eskploitasi orang dewasa. Anak-anak sering menjadi sasaran kekerasan orang tua di pengungsian atau lokasi bencana yang merasa putus asa atas kondisi yang dihadapi. Di saat-saat sulit tersebut juga selalu muncul orang yang ingin mencari keuntungan dari penderitaan anak seperti melakukan adopsi ilegal, menjadikan anak-anak sebagai pengemis jalanan, mempekerjakan anak pada jenis-jenis pekerjaan terburuk, memaksa kawin muda, sampai eksploitasi seksual. Menyadari kebiasaan universal dalam setiap peristiwa bencana tersebut, iinstrumen internasional Konvensi Hak-hak Anak (KHA) pagi-pagi telah memberikan rambu-rambu pada semua Negara Pihak, agar penanganan anak dalam situasi darurat harus menjunjung tinggi hukum humaniter, dan tidak mendegradasi nilai-nilai kemanusiaan secara utuh.Pasal 59 Undang-Undang Nomor 23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak menyatakan bahwa  pemerintah dan lembaga Negara lainnya berkewajiban dan bertanggung jawab untuk memberikan perlindungan khusus kepada anak dalam situasi darurat. Ketentuan berikutnya menyebutkan bahwa anak dalam situasi darurat di antaranya adalah anak yang menjadi pengungsi, anak korban kerusuhan, dan anak korban bencana alam.Implementasi dari perlindungan khusus tersebut, para penyelenggara perlindungan anak harus memastikan bahwa setiap anak dalam situasi darurat tetap memperoleh hak-hak dasarnya, yang bukan saja berkaitan dengan papan, pangan, dan sandang, tetapi juga ketidakterputusan pendidikan dan trauma healing untuk aspek-aspek psikososial. Dalam konteks hak kelangsungan hidup, tumbuh dan perkembangan, yang sangat penting adalah bagaimana kita mampu memberikan semangat bertahan dan anak tidak kehilangan harapan.Aspek pendidikan mendasar adalah bagaimana anak tidak memandang alam dengan skeptisime. Kita harus merasionalkan pandangan bahwa alam punya hukumnya, manusia harus menyesuaikannya, bukan sebaliknya, alam yang diminta menyesuaikan dan memenuhi semua kebutuhan manusia.Maka lautan  yang begitu luas tidak dilihat sebagai ancaman menakutkan penuh kebencian, tetapi sumber kehidupan di mana manusia bisa mendapatkan banyak hal. Bahwa gelombang besar bisa membilas pantai memang iya karena gelombang harus berlari melepas daya sampai selesai tak peduli apa dan siapa yang dilewatinya.  Tugas manusia adalah bagaimana dengan teknologi dan pengalaman panjang kehidupan bisa mendeteksi kapan gelombang besar datang dan harus bagaimana mengantisipasinya.Hal yang sama untuk gunung Merapi, ia bukan ancaman, bukan musuh. Merapi adalah energi, yang kehadirannya membentuk panorama indah, mencipta iklim, mengatur hujan, mengirim material untuk bahan bangunan dan batu-batu andesit untuk seni pahat, memuntahkan abu untuk menyuburkan tanah dimana darinya para petani menggantungkan mata pencaharian. Bahwa ada lava pijar, awan panas atau “wedhus gembel”,  hujan abu, dan lahar dingin yang menimbulkan bencana, adalah tugas manusia untuk mengantisipasinya. Kuncinya, menghadapi fenomena alam seperti laut, hutan, dan gunung, bukan dengan mitos,  klenik dan fatalis, tetapi dengan sikap rasional, disiplin, antisipatif, serta pemanfaatan teknologi secara optimal.    Jika generasi tua tidak juga memahami, biarlah itu berlalu karena pada akhirnya yang tua akan terlebih dulu pergi. Untuk anak, generasi muda, karena masih panjang melangkah, haruslah memahami sifat dan hukum alam dengan segala resikonya.Dengan demikian, walaupun ada ribuan gempa, ratusan tsunami, dan tak terhitung letusan gunung,  kita tidak perlu merasa terancam dan ketakutan berlarut, apalagi putus asa menghadapi hidup. Tetaplah tinggal di tanah air tercinta, dari pantai, hutan, ngarai hingga gunung. Jadi, jauhkan rasa benci atas apapun. Kita harus tetap menyayangi laut, hutan, gunung, dan segala kehidupan ini. Maka, tersenyumlah anak-anak pengungsi, anak-anak korban bencana di mana pun berada, karena alam telah memberi kita sangat banyak tanpa pernah bertanya, apakah kita pernah berfikir dan bertindak untuk membalas budi baiknya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar